Jumat, 12 September 2008

Jawaban kepada Andya Primanda

HARUN YAHYA



Andya Primanda, seorang paleontolog Muslim asal Indonesia, baru-baru ini telah menyanggah buku-buku and artikel-artikel yang ditampilkan pada situs www.harunyahya.com yang membantah teori evolusi. Primanda, yang menyatakan dirinya beriman kepada Tuhan – sehingga kami beranggapan dirinya meyakini penciptaan – mungkin telah terpengaruh oleh dogma Darwinis yang sangat mempengaruhi dunia paleoanthropologi. Dirinya bersikukuh mendukung teori evolusi dan menyatakan bahwa sanggahan terhadap teori evolusi tidaklah benar. Namun, sebagaimana akan kita pahami berikut ini, selain Primanda telah keliru dalam keyakinannya terhadap teori evolusi, ia juga telah keliru dalam sanggahannya terhadap mereka yang mengungkap kesalahan-kesalahan dalam teori evolusi.

PEMAHAMAN KELIRU PRIMANDA TENTANG SAHELANTHROPUS

Keberatan utama Primanda ditujukan kepada penafsiran terhadap sebuah tengkorak yang ditemukan beberapa waktu yang lalu di Chad yang diberi nama Sahelanthropus tchadensis. Dalam sebuah tulisan tentang tengkorak tersebut yang diberi judul "New Fossil Discovery Sinks Evolutionary Theories" (“Temuan Fosil Terbaru Menenggelamkan Teori Evolusi”) yang baru-baru ini ditampilkan di situs Harun Yahya, kami menyatakan bahwa fosil berusia tujuh juta tahun bernama Sahelanthropus tchadensis ini, kendatipun usianya yang sangat tua, ternyata lebih “mirip manusia” dibandingkan genus Australopithecus, yang tergolong berusia lebih muda dan telah dikemukakan sebagai nenek moyang primitif manusia. Kami menuliskan bahwa bukti ini akan mencabut pohon silsilah evolusi keluar hingga ke akar-akarnya.

Primanda, dalam jawabannya kepada kami, menolak penafsiran kami dan dalam keseluruhan tulisannya, ia menyatakan bahwa Sahelanthropus lebih “mirip kera” daripada Australopithecus dalam segala hal. Ia menulis:

HY (Harun Yahya) mendasarkan pernyataannya pada anggapan bahwa Sahelanthropus memperlihatkan ‘ciri-ciri yang lebih menyerupai manusia’ dibanding australopiths (Australopithecus, Paranthropus, Ardipithecus), akan tetapi hidup sebelum (lebih dahulu daripada) mereka.

Akan tetapi, Primanda mengabaikan satu fakta penting. Mereka yang membuat pernyataan tentang Sahelanthropus ini adalah para ilmuwan yang menemukan dan mempelajari fosil itu sendiri, dan para ilmuwan ini adalah juga pendukung teori evolusi. Sebuah artikel yang dimuat dalam majalah Nature menyatakan:

Apa yang mengejutkan tentang tengkorak TM 266-01-060-1 berukuran sipanse yang ditemukan Brunet dkk tersebut adalah sifat perpaduannya. Secara sederhana, dari belakang ia tampak seperti seekor sipanse, sedangkan dari muka dapat dianggap sebagai australopithecus yang telah maju dan berusia 1,75 juta tahun. Ciri-ciri hominid ini termasuk struktur muka, dan mahkota gigi taring kecil yang ujungnya telah tumpul. Ciri-ciri hominid lain ditemukan pada bagian bawah tengkorak dan pada potongan rahangnya yang terpisah. Jika kita terima ini semua sebagai bukti yang cukup untuk menggolongkan S. tchadensis sebagai seekor hominid pada bagian paling bawah, atau batang pokok, dari kelompok manusia modern, maka hal ini memporak-porandakan model silsilah asal-usul manusia yang telah rapi. Sederhana saja, hominid berumur sekian ini seharusnya sekedar mulai menampakkan tanda-tanda sebagai hominid. Sudah tentu ia semestinya tidak memiliki wajah hominid kurang dari sepertiga usia geologisnya. Juga, jika ia diterima sebagai hominid batang pokok, maka dalam model silsilah yang telah rapi tersebut prinsip parsimoni [i] ) (principle of parsimony) menetapkan bahwa semua makhluk berwajah lebih primitif (dan ini adalah sebuah daftar yang sangat panjang), karena diperlukan, akan harus dikeluarkan dari kelompok nenek moyang manusia modern.1

Singkatnya, fosil tersebut menampilkan gambaran yang justru bertentangan dengan “skema evolusi” yang telah dipaksakan agar diterima masyarakat selama lebih dari seabad sejak Darwin. Ketidaksesuaian ini tampak sangat nyata sehingga penulis majalah Nature tersebut menyetarakan penemuan fosil ini dengan fosil-fosil Burgess Shale yang memperlihatkan Ledakan Kambrium, yang barangkali termasuk bukti paleontologis paling terkenal yang menyanggah teori Darwin:

Fauna Burgess Shale di Kanada, yang menampilkan contoh yang membingungkan dari kelompok invertebrata sekitar 500 juta tahun lalu, adalah sebuah contoh terkenal tentang keanekaragaman pada bagian dasar dari sebuah radiasi adaptif. Apakah S. tchandensis merupakan kera Afrika yang setara dengan penemuan fosil the Burgess Shale?2

Teori evolusi tidak mampu menjelaskan Ledakan Kambrium, yakni kemunculan tiba-tiba lebih dari 60 filum binatang di planet kita. Teori ini juga gagal menjelaskan asal-muasal manusia. Fosil yang baru saja diketemukan tersebut menjadikan ketidakmampuan ini malah tampak semakin nyata. Primanda menolak penungkapan fakta ini oleh kami, sebuah sanggahan yang tak bermakna.

Dihadapkan pada kenyataan ini, apa yang Primanda ingin lakukan adalah untuk menunjukkan bahwa ciri-ciri Sahelanthropus yang relatif modern tersebut sebenarnya tidak ada. Ia membicarakan dua ciri, prognathisme [ii] ) dan letak foramen magnum [iii] ), akan tetapi analisanya sangatlah dangkal. Pengkajiannya terhadap prognathisme tidak lain hanyalah meletakkan gambar garis bentuk Sahelanthropus pada sejumlah fosil hominid, satu di atas yang lain, dan ia sendiri mengakui bahwa “cara pembandingan seperti ini mungkin tidak konsisten” dan bahwa “hasilnya mungkin tidak bernilai tinggi.”

Penjelasannya tentang foramen magnum adalah penghindaran diri dari permasalahan yang sesungguhnya. Ini juga terlihat dalam gambar yang dibuatnya yang didasarkan pada letak foramen magnum; ketika dibandingkan dengan Australopithecus, Sahelanthropus ternyata lebih modern. Dan ini mengukuhkan apa yang telah kami kemukakan sejak awal, yakni bahwa Sahelanthropus, meskipun lebih tua dari Australopithecus, memiliki lebih banyak ciri-ciri modern, dan karenanya silsilah evolusi berdasarkan atas ciri-ciri ini tidak dapat dibuat. Primanda menghibur diri dengan menanggapi pernyataan ini dengan tulisan, “Sahelanthropus terletak sangat pas pada posisi pertengahan, antara posisi kera dan manusia,” tapi ini sama sekali keluar dari pokok bahasan yang sesungguhnya. Yang menjadi pokok bahasan di sini adalah pembandingan antara Sahelanthropus dan Australopithecus.

PEMBICARAAN TENTANG AUSTRALOPITHECUS

Pada pokok bahasan ini, Primanda merujuk pada penjelasan kami tentang Australopithecus dan menyanggah hasil kajian Zuckerman, Oxnard dan Spoor. Ia juga menulis bahwa kajian yang dilakukan Spoor telah berubah. Adalah fakta bahwa cara berjalan Australiopithecus adalah permasalahan yang masih dipertentangkan. Namun demikian pendapat yang disepakati bersama adalah bahwa anggota-anggota genus ini hidup di pepohonan, dan bahwa mereka menggunakan kedua kaki mereka ketika berjalan di atas tanah. Telah diterima bahwa penggunaan kedua kaki ini tidaklah seperti pada manusia, dan faktanya memang sangatlah berbeda, dan merupakan cara berjalan yang lebih membungkuk dibandingkan manusia.

Lantas jika Australopithecus berjalan lebih tegak dibanding kera-kera yang masih ada sekarang, maka ini akan membuktikan apa? Kini bumi kaya akan beragam spesies kera, dan tidaklah terlalu jauh untuk beranggapan bahwa keanekaragaman ini bahkan lebih besar di masa lampau dan ini juga berlaku pada cara jalan mereka. Apa yang penting di sini adalah bahwa pengaturan silsilah evolusi tidak dapat dilakukan di antara jenis-jenis kera ini.

Masih terdapat satu hal lagi yang bahkan lebih penting yang menempatkan teori evolusi pada kesulitan besar berkenaan dengan skenarionya tentang asal-usul manusia dan spesies-spesies lain: Sejumlah mekanisme yang dianggap menjadikan skenario evolusi ini kenyataannya adalah sama sekali hasil rekayasa. Jika anda mengkaji penjelasan evolusionis, akan dikatakan bahwa makhluk-makhluk ini menjadi terbiasa berjalan setelah mereka turun dari pepohonan, dan kerangka mereka menjadi lebih tegak karena mereka diharuskan memposisikan tubuh mereka lebih lurus ketika berjalan melintasi padang rumput. Karena tidak memegang dahan pepohonan, maka telapak tangan mereka kosong sehingga mereka mulai menggunakan tangan mereka, dan ini menjadikan otak mereka berkembang. Ini terdengar seperti sebuah dongeng rekaan yang didasarkan pada logika Lamarckis, seperti tentang evolusi anggota tubuh yang terjadi dikarenakan anggota tubuh ini mulai dibutuhkan untuk berfungsi, dan juga tentang pewarisan sifat-sifat dapatan. Akan tetapi ini hanyalah menampakkan bagaimana dongeng ini dipaksakan kepada masyarakat. (Tidak heran jika Lamarckisme ternyata merupakan teori yang mengecohkan). Jika kita meneliti penjelasan ini lebih dekat, akan kita ketahui bahwa mekanisme satu-satunya yang mungkin yang mendasari dongeng khayalan ini adalah mekanisme pasangan seleksi alam-mutasi. Akan tetapi, semua percobaan dan pengamatan menunjukkan bahwa mekanisme ini tidak menyebabkan pertambahan informasi genetis.

Penelaahan terhadap penjelasan evolusi ini, termasuk mekanisme seleksi alam dan mutasi, sudah cukup untuk memperlihatkannya sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Australopithecus yang berusaha berjalan tegak di padang rumput haruslah memiliki mutasi semacam ini agar ia memperoleh kerangka yang lebih tegak, mekanisme penyeimbang yang diperlukan bagi kerangka ini, foramen magnum dan mekanisme otot, dan ia haruslah tidak menderita efek-efek sakit dari mutasi ini. (Namun, ini mustahil karena keberadaan efek pleiotropik [iv] ).) Di samping itu, mutant yang dianggap ada ini haruslah lebih unggul dibandingkan dengan mutan-mutan yang lain dari spesiesnya saja sebab ia mampu melihat bagian-bagian yang lebih tinggi dari rerumputan tinggi, dan ia haruslah telah berkembang biak dan memunculkan kera spesies baru. Semua ciri fisik dan mental lainnya yang menjadikan kita manusia haruslah terjadi melalui mutasi-mutasi acak seperti ini; semua perubahan ini haruslah telah terjadi melalui mutasi tanpa sengaja ini. Ini tidak lain hanyalah sebuah khayalan, atau dalam perkataan Henry Gee, editor majalah Nature, sebuah “dongeng pengantar tidur.”3 Biologiwan Prancis terkenal Pierre-Paul Grasse suatu ketika pernah mengatakan, “Tidak ada undang-undang yang melarang berkhayal, akan tetapi ilmu pengetahuan haruslah tidak terbuai di dalamnya.”4

Oleh karena itu, Primanda, dalam tulisan yang dikemukakan sebelumnya, tidak memiliki dasar apapun selain prasangka Darwinis dalam menyanggah pendapat kami yang menyatakan bahwa Austalopithecus adalah genus kera tersendiri yang tidak ada hubungannya dengan manusia, yang pada akhirnya menjadi punah.

PERBINCANGAN MENGENAI BENTUK SEMAK DAN KONTRADIKSI PRIMANDA

Primanda mendasarkan pandangan-pandangannya pada bukti-bukti rekaan, dan ia mengemukakan sanggahan rancu terhadap kami. Salah satu sanggahannya adalah bahwa pendapat Bernard Wood tentang evolusi manusia terlihat lebih menyerupai bentuk semak ketimbang sebuah tangga. Primanda menulis:

Harun Yahya tidak mampu menjelaskan dua hal:

1. Sebagaimana diperlihatkan sebelumnya, Sahelanthropus tidak memperlihatkan ciri-ciri lebih menyerupai manusia dibandingkan Australopithecines;

2. ‘Skema evolusionis’, ‘tangga dari kera ke manusia’ adalah argumentasi yang dibuat-buat.

Pandangan ilmiah yang paling banyak diterima kini beralih ke suatu pandangan yang lain. Harun Yahya mengutip Bernard Wood yang mengatakan bahwa ‘...sejarah evolusi manusia berbentuk tangga di tahun 1960-an...tapi sekarang terlihat menerupai bentuk semak. Pada kenyataannya, perubahan pandangan tentang evolusi ini disebabkan karena catatan fosil manusia yang terus-menerus bertambah banyak, dengan sejumlah penemuan baru dan tak terduga yang terjadi setiap beberapa tahun.

Lalu kenapa? Di tengah-tengah sanggahannya terhadap kami, Primanda mengulang persis fakta-fakta yang telah kami sebutkan. Benar, sejarah evolusi tidak lagi terlihat menyerupai sebuah “pohon” akan tetapi lebih mirip “semak,” dan ini dikarenakan bukti-bukti yang berhasil digali tidak pas dengan silsilah kehidupan Darwinis yang telah berusia 150 tahun maupun pengurutan evolusi manapun. Primanda dan pihak lain masih saja berusaha mengotak-atik “hipotesis evolusi” dari semak ini, tapi pada akhirnya kita mendapatkan kebenaran yang nyata ini: Fosil-fosil tersebut tidak mendukung Darwinisme. Kalangan evolusionis berkeyakinan bahwa semakin banyak fosil yang mereka temukan, maka ini akan semakin memperkuat teori evolusi, namun nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Niles Eldredge dari Harvard University, salah seorang paleontolog terkemuka asal Amerika Serikat, dan Ian Tattersall dari American Museum of Natural History pernah menulis:

Adalah mitos bahwa sejarah evolusi makhluk hidup pada dasarnya adalah masalah tentang penemuan (fosil). Jika ini benar, seseorang akan dengan yakin memperkirakan bahwa dengan semakin banyaknya fosil hominid yang ditemukan, maka sejarah evolusi manusia akan semakin jelas. Tetapi, andaipun ada, yang terjadi malah sebaliknya. 5

Satu hal penting di sini perlu mendapat perhatian khusus: penggantian bentuk “pohon” dengan bentuk “semak” bukanlah didasarkan pada bukti, akan tetapi lebih dikarenakan ketiadaan bukti. Ya begitulah, banyak fosil yang telah ditemukan, akan tetapi ini adalah bukti yang malah membantah teori evolusi. Satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini bagi para evolusionis adalah dengan memunculkan model “semak” untuk mengganti model “pohon” agar dapat menampilkan ketidakteraturan ini. Model semak ini tidak lain hanyalah alasan yang sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian dari kumpulan bukti fosil yang justru menyanggah Darwinisme.

Jika anda meyakini secara buta teori evolusi, anda akan berusaha menafsirkan setiap penemuan baru untuk mendukung teori ini. Kalangan Marxis yang mempercayai Marxisme secara buta berlindung di bawah payung Leninism ketika revolusi sebagaimana yang dijanjikan Marx gagal terjadi. Orang-orang yang memiliki keyakinan buta dapat selalu memunculkan penjelasan yang dicari-cari bagi setiap permasalahan. Sebaliknya, orang yang jauh dari keyakinan buta dengan mudah mampu melihat keadaan yang sesungguhnya: data-data yang ada tidak sesuai dengan teori ini.

TUDUHAN TERHADAP PENAFSIRAN SALAH ATAS PERNYATAAN GEE

Salah satu sanggahan Primanda adalah bahwa editor majalah Nature Henry Gee telah dikutip secara keliru oleh kami:

Harun Yahya juga salah dalam mengutip pernyataan Henry Gee, yang menyatakan bahwa ‘Gagasan tentang mata rantai yang hilang ... kini sama sekali tidak dapat dipertahankan.’

Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar. Di bawah ini kami tulis ulang salah satu dari penjelasan Gee yang lebih panjang guna menghilangkan keraguan apa pun tentang masalah ini:

Sebuah tengkorak berusia tujuh juta tahun yang ditemukan di padang pasir Afrika tengah mungkin adalah temuan terpenting dalam pencarian asal-usul manusia yang masih ada dalam ingatan – sejak Raymond Dart mengumumkan (penemuan) “manusia kera” Australopithecus africanus pada tahun 1925. Akan tetapi pengaruh awalnya mungkin malah membuat bingung daripada mencerahkan. Apapun hasilnya, tengkorak tersebut memperlihatkan, untuk selamanya, bahwa gagasan kuno tentang “mata rantai yang hilang” adalah omong kosong...

Mengapa Toumaï begitu penting? Pertama, ia adalah sisa hominid paling awal yang diketahui dan yang dapat dipercaya– hominid adalah satu anggota dari kelompok makhluk hidup yang lebih dekat kekerabatannya dengan manusia dibandingkan binatang mana pun. Ia juga dua kali lebih tua dari tengkorak paling awal yang pernah diketahui: pemegang rekor sebelumnya, dari Kenya, berusia sekitar 3,3 juta tahun.

Kedua, ia mengarah langsung ke bagian sejarah evolusi manusia yang paling penting, tapi paling sedikit diketahui. Diduga bahwa nenek moyang bersama dan terakhir dari manusia dan para kerabat terdekat kita yang masih hidup, sipanse, hidup sekitar 7 juta tahun yang lalu. Kita mengetahui hal ini bukan dari bukti fosil langsung, melainkan dari mengkaji sejumlah perbedaan kecil dari gen-gen manusia dan sipanse, yang di luar perbedaan ini gen-gen keduanya mirip, dan dari memperkirakan waktu yang diperlukan bagi sejumlah perbedaan ini untuk semakin bertambah.

Dengan melihat kepada bukti fosil itu sendiri, kita melihat sebuah celah yang sangat lebar dan memusingkan. Sepuluh juta tahun yang lalu, bumi dipenuhi kera, akan tetapi tidak ada kesepakatan tentang mana di antara mereka yang paling dekat pada evolusi manusia. Apa pun yang terjadi, sebuah garis silsilah jelas yang mengarah kepada manusia, sebagaimana juga garis kekerabatan jelas yang bermula dari sipanse, tidak pernah ada saat itu...

Jadi terlihat seperti apakah Toumaï? Ia adalah perpaduan antara ciri primitif dan ciri telah maju yang membingungkan. Tempurung otaknya berukuran dan berbentuk sama seperti seekor sipanse. Namun pada wajahnya didapati hal yang menarik tersebut. Ketimbang memiliki moncong yang menonjol dengan gigi-gigi taring yang besar, muka tersebut datar dan gigi-giginya sangat kecil dan menyerupai pada manusia. Yang paling aneh di antara semuanya adalah tonjolan dahi yang besar. Ini biasanya dikaitkan dengan genus Homo kita sendiri, dan sebaliknya tidak terlihat pada fosil apapun yang lebih tua dari 2 juta tahun...

Orang-orang dan para penulis berita cenderung memahami evolusi manusia sebagai sebuah garis yang menghubungkan kera ke manusia, yang ke dalamnya seseorang dapat menempatkan secara tepat fosil-fosil yang baru ditemukan dengan mudah layaknya menyambung sebuah rantai. Bahkan anthropolog modern terjerembab ke dalam perangkap ini, mereka menerima bentuk semak tertentu dalam pohon silsilah asal-usul manusia antara 3 juta dan 2 juta tahun yang lalu – yakni ketika genus Homo muncul pertama kali – tapi meyakini bahwa evolusi manusia sebelum masa itu, pada dasarnya, berbentuk linier. Wood yakin bahwa silsilah tersebut ke bawahnya secara keseluruhan berentuk semak. Penelitian baru-baru ini guna mengetahui seberapa banyak kita sebenarnya mengetahui masa lalu tersebut mendukung pandangan ini, dan mengemukakan bahwa kita memiliki bukti langsung hanya sebesar 7% dari keseluruhan spesies primata yang pernah hidup.

Ini memiliki arti tiga hal. Pertama, bahwa kita cenderung melihat pada sejumlah kecil ujung dari semak yang kita ketahui tersebut, menghubungkan mereka dengan garis, dan membuat mereka menjadi urutan linier para nenek moyang dan keturunannya yang sebenarnya tidak pernah ada. Tapi hal ini seharusnya telah sangat jelas sekarang bahwa gagasan utama tentang mata rantai yang hilang, yang selalu meragukan, kini sama sekali tidak dapat dipertahankan. 6

Singkatnya, Gee mengatakan bahwa model evolusi manusia ada “bukan dari bukti fosil langsung,” bahwa terdapat “sebuah celah sangat lebar dan memusingkan” dalam catatan fosil, dan oleh karenanya, gagasan tentang “mata rantai yang hilang” juga “sama sekali tidak dapat dipertahankan.” Ini adalah apa yang telah kami kemukakan sejak awal. Jadi tuduhan Primanda bahwa pernyataan Gee telah dikutip secara salah adalah sama sekali tidak jujur.

DOGMATISME PRIMANDA

Dogmatisme Primanda malah lebih menarik lagi. Segera setelah tuduhan tidak berdasarnya terhadap kami tentang kutipan Gee, ia menulis:

Sudah tentu tidak ada sesuatu yang disebut sebagai ‘mata rantai yang hilang’. Setiap organisme, baik yang masih hidup atau yang telah menjadi fosil, adalah mata rantai yang menghubungkan makhluk-makhluk yang telah ada sebelumnya dan yang ada setelahnya. Tiap-tiap organisme adalah bentuk transisi (peralihan); tidak ada satu pun yang dapat dijadikan sebagai mata rantai yang hilang, titik perubahan, tanda perubahan dari satu jenis ke jenis yang lain. Perubahan secara evolusi adalah bertahap dalam jangka waktu lama.

Dengan menyatakan ini, Primanda merubah arti istilah “bentuk transisi (peralihan),” atau – lebih tepatnya – memutarbalikkan artinya. Bentuk transisi, sejak Darwin, tidak merujuk pada spesies yang kini masih ada, namun sebaliknya ini adalah istilah yang diberikan kepada nenek-nenek moyang teoritis (yang hanya ada dalam teori) yang dianggap pernah hidup di masa lampau dan berbeda satu sama lain dengan sejumlah perbedaan morfologis yang teramat kecil. Jika setiap makhluk hidup adalah bentuk transisi, maka Darwin tidak akan pernah mengalami kebingungan halaman demi halaman dalam bukunya The Origin of Species dalam usahanya menjelaskan mengapa bentuk-bentuk transisi ini tidak ditemukan di mana pun. Para paleontolog tidak akan menghabiskan waktu 150 tahun terakhir dengan menggali di seluruh ujung dunia dalam usaha untuk menemukan bentuk-bentuk transisi ini.

Dengan kata lain, disebabkan oleh ketiadaan bentuk-bentuk transisi ini, Primanda berlindung diri dalam penjelasan dangkal, yakni dengan mengatakan bahwa “setiap organisme adalah sebuah bentuk transisi.” Hanya anak kecil yang dapat meyakini penjelasan seperti ini, sebab kenyataan justru berbicara sebaliknya. Nyatanya, para evolusionis yang lebih serius mengakui fakta ini. Misalnya, Robert Carroll, seorang pakar evolusi terkemuka, menulis:

Meskipun saat ini spesies dalam jumlah yang hampir tidak dapat diketahui menghuni Bumi, mereka tidak membentuk sebuah spektrum yang bersambungan yang terdiri dari bentuk-bentuk pertengahan yang sulit dibedakan. Sebaliknya, hampir semua spesies dapat dikenali sebagai berasal dari kelompok-kelompok utama berjumlah relatif terbatas yang sangat jelas perbedaannya, dengan sedikit sekali menampakkan struktur-struktur atau perilaku hidup pertengahan.7

KEKELIRUAN MOLEKULER

Tulisan Primanda yang lain, yang diberi judul “An Invitation to the Facts: Response to Chapter 9 of The Evolution Deceit" (“Seruan kepada Fakta: Sanggahan atas Bab 9 The Evolution Deceit”), yang ia susun sebagai jawaban terhadap bab dalam buku “The Evolution Deceit” yang membahas tentang asal-usul manusia, juga berisi sejumlah kekeliruan penting.

Mereka yang membaca judul tulisan ini mungkin akan diarahkan untuk beranggapan bahwa tulisan ini akan mengungkapkan jawaban yang panjang. Namun, satu-satunya pernyataan di dalamnya yang perlu dicermati adalah bahwa terdapat kemiripan molekuler (genetik) antara sipanse dan manusia. Primanda mengatakan bahwa terdapat 99 persen kemiripan dan oleh karenanya kita tidak dapat menyanggah bahwa manusia dan kera adalah berkerabat, namun justru di sinilah ia membuat kesalahan besarnya: tidak terdapat kemiripan genetik semacam ini. Sebuah penemuan ilmiah tentang hal ini yang telah diumumkan hanya beberapa minggu yang lalu mengungkapkan bahwa kemiripan genetik ini telah dibesar-besarkan dan angka yang benar sesungguhnya kurang dari 95 persen. Artikel kami, yang diberi judul "The 99% Myth Is Dead" (“Mitos 99% telah Mati”), memaparkan hal ini secara rinci dan dengan demikian membantah pernyataan Primanda tentang kemiripan molekuler, yang tampaknya menjadi senjata utamanya.

KESIMPULAN

Kendatipun kesetiaannya terhadap Darwinisme, Primanda mengatakan bahwa ia adalah seorang Muslim yang beriman. Kami menghargai hal ini. Akan tetapi, kami akan melalaikan kewajiban kami jika tidak menunjukkan pertentangan antara keyakinannya kepada Islam dan Darwinisme. Ia seharusnya bertanya pada diri sendiri: Jika ia seorang Muslim yang beriman, mengapa ia mempertahankan sebuah teori yang dipertahankan oleh para atheis tulen yang militan? Jika ia seorang Muslim yang beriman, mengapa ia melakukan sesuatu untuk mendukung teori ini, yang menjadi landasan paham Marxisme, Leninisme, Maoisme, Freudianisme, dan, yang terpenting lagi, seluruh filsafat materialis? Ia tidak sepatutnya menjawab beragam pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa ia melakukan ini demi ilmu pengetahuan, sebab kini seluruh dunia telah mengetahui bahwa Darwinisme bukanlah sebuah teori ilmiah, melainkan sebuah filsafat. Ini adalah filsafat yang alasan keberadaannya yang sesungguhnya adalah untuk mengingkari penciptaan dan Pencipta.

Kami hanya dapat berharap bahwa Primanda akan mampu membebaskan dirinya sendiri belenggu filsafat ini dan mulai melihat segala sesuatu sebagaimana kenyataannya.



Catatan kaki:

[i] Penggunaan asumsi paling sederhana dalam merumuskan sebuah teori atau menafsirkan data.

[ii] Memiliki rahang yang terlihat menonjol ke depan.

[iii] Foramen magnum: Lobang di dasar tengkorak, tempat lewat sumsum penghubung (medulla oblongata) yang akan bersambungan dengan sumsum punggung yang lewat dalam lobang ruas tulang punggung (foramen vertebrae).

[iv] Ekspresi satu genotipe menjadi beberapa fenotipe.

.
(1) Bernard Wood, "Hominid Revelations from Chad", Nature, 11 July 2002, p. 134.
(2) Bernard Wood, "Hominid Revelations from Chad", Nature, 11 July 2002, p. 135.
(3) Henry Gee, In Search of Deep Time, New York, The Free Press, 1999, s. 116-117.
(4) Pierre-P Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, p. 103.
(5) Niles Eldredge, Ian Tattersall, The Myths of Human Evolution, p. 126-127
(6) "Face Of Yesterday: Henry Gee On The Dramatic Discovery Of A Seven-Million-Year-Old Hominid" The Guardian, July 11, 2002.
(7) Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, p. 9.

disalin dari Harunyahya.com

Selasa, 09 September 2008

Siapa Sebenarnya Harun Yahya ?

HarunYahya adalaha nama pena dari

Bpk. ADNAN OKTAR .

Lahir di Ankara pada tahun 1956. Sebagai seorang da'i dan ilmuwan terkemuka asal Turki, beliau sangat menjunjung tinggi nilai akhlaq dan mengabdikan hidupnya untuk mendakwahkan ajaran agama kepada masyarakat. Adnan Oktar memulai perjuangan intelektualnya pada tahun 1979, yakni ketika menuntut ilmu di Akademi Seni, Universitas Mimar Sinan. Selama berada di universitas tersebut, beliau melakukan pengkajian yang mendalam tentang berbagai filsafat dan ideologi materialistik yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat sekitar. Hal ini menjadikan beliau lebih tahu dan paham dibandingkan dengan para pendukung filsafat atau ideologi itu sendiri. Berbekal informasi dan pengetahuan yang mendalam ini, beliau menulis berbagai buku tentang bahaya Darwinisme dan teori evolusi, yang merupakan ancaman terhadap nilai-nilai akhlaq, terhadap dunia; serta buku tentang keruntuhan teori ini oleh ilmu pengetahuan. Majalah ilmiah populer terkenal New Scientist edisi 22 April 2000 menjuluki Adnan Oktar sebagai "International Hero" (pahlawan dunia) yang telah membongkar kebohongan teori evolusi dan mengemukakan fakta adanya penciptaan. Penulis juga telah menghasilkan berbagai karya tentang Zionisme dan Freemasonry, serta ratusan buku yang mengulas masalah akhlaq dalam Al-Qur'an dan bahasan-bahasan lain yang berhubungan dengan akidah.

Nama pena Harun Yahya berasal dari dua nama Nabi: "Harun" (Aaron) dan "Yahya" (John) untuk mengenang perjuangan dua orang Nabi tersebut melawan kekufuran.

Buku-buku karya pengarang: 'Tangan Rahasia' di Bosnia, Kebohongan Holocaust, Di Balik Tirai Terorisme, Kartu-Kurdi Israel, Strategi Nasional bagi Turki, Moral Qur'ani: Solusi, Permusuhan Darwin Terhadap Bangsa Turki, Bencana Kemanusiaan Akibat Ulah Darwinisme, Kebohongan Teori Evolusi, Bangsa-Bangsa Yang Diadzab, Nabi Musa, Zaman Keemasan, Keagungan Warna Ciptaan Allah, Kebesaran Allah di Setiap Sudut Alam Semesta, Hakikat Kehidupan Dunia, Pengakuan Kaum Evolusionis, Kekeliruan Kaum Evolusionis, Sihir Darwinisme, Agama Darwinisme, Al-Qur'an Menuntun Kepada Ilmu Pengetahuan, Asal Usul Kehidupan yang Sesungguhnya, Penciptaan Alam Semesta, Keajaiban Al-Qur'an, Desain Pada Alam, Perilaku Pengorbanan Diri dan Kecerdasan Pada Dunia Hewan, Keabadian Telah Berlangsung, Anakku Darwin Telah Berbohong!, Berakhirnya Darwinisme, Bagaimana Seorang Muslim Berpikir?, Keabadian dan Hakikat Takdir, Jangan Berpura-Pura Tidak Tahu, Misteri DNA, Keajaiban Atom, Keajaiban Sel, Keajaiban Sistem Kekebalan, Keajaiban Mata, Keajaiban Penciptaan Tumbuhan, Keajaiban Laba-Laba, Keajaiban Semut, Keajaiban Nyamuk, Keajaiban Lebah, Keajaiban Biji, Keajaiban Rayap.
Karya penulis dalam bentuk buku untuk anak-anak antara lain; Children Darwin Was Lying!, The World of Animals, The Splendour in the Skies, The World of Our Little Friends: The Ants, Honeybees That Build Perfect Combs, Skillful Dam Builders: Beavers.

Karya penulis dalam bentuk booklet: Misteri Atom, Keruntuhan Teori Evolusi: Fakta Penciptaan, Keruntuhan Materialisme, Berakhirnya Materialisme, Kekeliruan Kaum Evolusionis 1, Kekeliruan Kaum Evolusionis 2, Mikrobiologi Meruntuhkan Teori Evolusi, Fakta Penciptaan, 20 Pertanyaan Yang Meruntuhkan Teori Evolusi, Kebohongan Terbesar Dalam Sejarah Biologi: Darwinisme.

Karya-karya pengarang yang berhubungan dengan Al-Qur'an: Pernahkah Anda Berpikir Tentang Kebenaran?, Mengabdi Hanya Kepada Allah, Meninggalkan Masyarakat Jahiliyyah, Surga, Teori Evolusi, Nilai Akhlaq Dalam Al-Qur'an, Ilmu Al-Qur'an, Index Al-Qur'an, Hijrah di Jalan Allah, Sifat Munafiq Dalam Al-Qur'an, Rahasia Orang Munafiq, Nama-Nama Allah Yang Agung, Berdakwah dan Berdebat Dalam Al-Qur'an, Konsep Dasar Dalam Al-Qur'an, Jawaban-Jawaban Al-Qur'an, Kematian, Kebangkitan dan Neraka, Perjuangan Para Rasul, Syaitan: Musuh Nyata Manusia, Agama Berhala, Agama Kaum Jahiliyyah, Kesombongan Syaitan, Doa Dalam Al-Qur'an, Urgensi Akal dalam Al-Qur'an, Hari Kebangkitan, Jangan Pernah Lupa, Hukum-Hukum Al-Qur'an yang Diabaikan, Karakter Manusia Dalam Masyarakat Jahiliyyah, Pentingnya Sabar Dalam Al-Qur'an, Pengetahuan Umum Dari Al-Qur'an, Memahami Iman dengan Mudah 1-2-3, Pemikiran Dangkal Kaum Kafir, Iman Yang Sempurna, Sebelum Anda Menyesal, Perkataan Para Rasul, Kasih Sayang Orang Mukmin, Takut Kepada Allah, Mimpi Buruk Kekafiran, Nabi Isa Akan Datang Kembali, Al-Qur'an Memberi Keindahan Pada Kehidupan, Beragam Keindahan Ciptaan Allah 1-2-3-4, Perbuatan Dosa Bernama: 'Mencela', Rahasia Ujian Kehidupan, Hikmah Yang Benar Menurut Al-Qur'an, Perjuangan Melawan Agama Kaum yang Tidak Beragama, Tarbiyyah Nabi Yusuf, Bersekutu dalam Kebaikan, Fitnah Terhadap Umat Islam Sepanjang Sejarah, Urgensi Mengikuti Perkataan yang Baik, Mengapa Menipu Diri Sendiri?, Islam: Agama Mudah, Kegembiraan dan Keteguhan dalam Al-Qur'an, Melihat Kebaikan pada Segala Hal, Bagaimana Orang Bodoh Menafsirkan Al-Qur'an?, Sejumlah Rahasia Al-Qur'an, Keberanian Orang Mukmin.

Banyak karya Harun Yahya yang kini tengah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Rusia, Spanyol, Arab, Portugis, Albania, Serbo-Kroasia (Bosnia), Polandia, Urdu, Indonesia, Melayu dan Malayalam. Tujuan utama kami adalah untuk menterjemahkan semua buku tersebut ke dalam bahasa Inggris dan berbagai bahasa lainnya pada tahun 2001 dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia agar bermanfaat bagi semua orang.

Dalam semua buku karya pengarang yang menggunakan nama pena Harun Yahya ini, semua topik yang disampaikan sangat sesuai dengan ajaran Al-Qur'an. Bahkan topik-topik yang disampaikan melalui bahasa ilmiah, yang kadang dianggap rumit dan membingungkan, diuraikan dengan sangat lugas dan jelas dalam buku-buku Harun Yahya. Tidaklah mengherankan jika buku-buku tersebut menarik semua orang dari segala umur dan lapisan masyarakat.

Buku-buku Harun Yahya yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan agama mengulas keberadaan dan keesaan Allah. Karya ini ditulis dengan tujuan utama mengenalkan mereka yang jauh dari agama, dan membuka hati mereka untuk menerima kebenaran. Bagi kaum Muslim, buku-buku ini merupakan arahan sekaligus nasehat. Penulis telah menerbitkan karya-karya tentang semua hal pokok yang diulas dalam Al-Qur'an yang meningkatkan pengabdian dan perenungan kaum Muslim.

Setiap buku karya penulis yang mengulas pokok bahasan ilmiah menekankan kekuasaan, kehebatan dan keagungan Allah dengan sangat terperinci berdasarkan penelitian dan bukti yang disusun sangat rapi, yang disertai dengan perenungan mendalam. Buku-buku ini memperlihatkan, bagi selain kaum Muslim, tanda-tanda keberadaan Allah, dan kehebatan penciptaan oleh-Nya secara sangat jelas dan cermat. Di sisi lain, semua ini meningkatkan keimanan dan ketaatan orang-orang yang beriman, dan dapat menjadi sarana terbaik untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat lain (di mana agama tidak dijalankan sepenuhnya). Dalam kelompok buku dengan pokok bahasan ini, terdapat sebagian "buku yang meruntuhkan kebohongan evolusi". Tujuan utama buku-buku ini adalah untuk meluluhlantakkan pemikiran materialistis dan ateistis yang telah dimunculkan sebagai tandingan dan musuh agama, dan telah dibelenggukan ke seluruh dunia sejak abad ke-19. Pengaruh besar buku-buku tersebut terhadap para pembacanya mengisyaratkan bahwa tujuan ini telah tercapai dengan sangat baik. Karya-karya ini, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya" (QS. Al-Anbiyaa', 21:18), menghancurkan yang batil, yakni sistem pemikiran dan ideologi dari sistem tak-berTuhan; dan membantu menyempurnakan cahaya (agama) Allah (QS. Ash-Shaff, 61:8). Dengan alasan tersebut, buku-buku ini memainkan peran penting dalam perang pemikiran melawan pengingkaran terhadap Tuhan.

Stempel Nabi Muhammad pada sampul depan buku-buku karya penulis memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan isi buku. Stempel ini bermakna Al Quran sebagai kitab dan kalam Allah yang terakhir, dan Nabi Muhammad adalah penutup para Rasul-Nya. Berpedomankan kedudukan Al-Qur'an dan Nabi Muhammad tersebut, dalam semua karyanya, penulis berupaya membuktikan kekeliruan seluruh pernyataan mendasar dari berbagai sistem anti-Tuhan dan untuk menyampaikan "kalimat penutup", yang akan benar-benar menghentikan segala pernyataan yang mengingkari Tuhan. Stempel Nabi Muhammad, sosok yang memiliki kemuliaan dan hikmah agung, digunakan sebagai doa niatan dalam penyampaian kalimat penutup ini.


Ulasan Tambahan tentang Buku-Buku Harun Yahya

Dalam semua buku karya penulis, berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keimanan dijelaskan berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an, dan masyarakat diajak untuk mempelajari dan menjalani hidup berdasarkan firman Allah. Semua pokok bahasan yang menyangkut ayat-ayat Allah dipaparkan sedemikian rupa sehingga tak menyisakan lagi keraguan ataupun tanda tanya dalam benak pembaca. Gaya yang tulus, sederhana dan fasih ini menjamin pembaca dari segala umur dan kelompok masyarakat untuk dapat memahami buku-buku ini dengan mudah. Gaya bertuturnya yang mudah dicerna dan jernih menyebabkan buku-buku ini dapat dipahami dalam sekali baca. Bahkan mereka yang sangat menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah agama sekali pun akan terpengaruh oleh kenyataan-kenyataan yang dipaparkan dalam buku-buku ini, serta tak sanggup menyangkal kebenaran isinya.

Semua buku karya penulis dapat dibaca secara perorangan maupun dibahas dalam kelompok. Para pembaca yang berminat menarik manfaat dari buku tersebut sebaiknya membahas buku dalam kelompok. Dengan demikian, mereka akan dapat saling bertukar pikiran, renungan, dan pengalaman mereka masing-masing.

Selain itu, membantu penyajian dan peredaran buku-buku ini, yang ditulis demi ridha Allah semata, adalah amal ibadah yang tinggi nilainya bagi agama. Semua buku karya penulis ini sangat meyakinkan. Karena itu, bagi mereka yang ingin menyampaikan agama kepada orang lain, salah satu cara yang paling mengena adalah dengan menganjurkan orang lain agar membaca buku-buku ini.

Tidak seperti dalam sejumlah buku tertentu, dalam buku-buku karya penulis ini Anda tidak akan menjumpai pandangan pribadi penulis, penjelasan berdasarkan sumber yang meragukan, maupun gaya penyampaian yang mengabaikan perihal penghormatan dan penghargaan terhadap kesucian. Di dalamnya tidak juga terdapat penjelasan yang bersifat melemahkan semangat, memunculkan keraguan, ataupun memupuskan harapan, yang kesemua ini dapat memunculkan penyimpangan di hati para pembacanya.


Sabtu, 06 September 2008

Relatifitas Waktu Dan Relatifitas Takdir




Semua pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa "ruang tiga dimensi" tidak ada dalam kenyataan, dan merupakan praduga yang sepenuhnya diilhami oleh persepsi, sehingga manusia menjalani hidup dalam "ketiadaan ruang". Menyatakan sebaliknya berarti mempercayai mitos yang jauh dari penalaran dan kebenaran ilmiah, karena tidak ada bukti absah tentang keberadaan dunia tiga dimensi.

Kenyataan ini menyangkal asumsi pokok filsafat materialis yang menjadi dasar teori evolusi bahwa materi bersifat absolut dan abadi. Asumsi filsafat materialis lainnya adalah bahwa waktu juga absolut dan abadi. Asumsi kedua ini sama tidak masuk akalnya dengan asumsi pertama.

Persepsi tentang Waktu

Apa yang kita persepsikan sebagai waktu sesungguhnya sebuah metode untuk membandingkan satu momen dengan momen lain. Ini dapat dijelaskan dengan sebuah contoh. Misalnya, ketika seseorang memukul sebuah benda, ia mendengar bunyi tertentu. Ketika ia memukul benda yang sama lima menit kemudian, ia mendengar bunyi lagi. Orang tersebut merasakan jeda antara bunyi pertama dengan bunyi kedua, dan menyebut jeda ini sebagai "waktu". Namun saat ia mendengar bunyi kedua, bunyi pertama yang didengarnya tak lebih dari sebuah imajinasi dalam pikirannya. Bunyi pertama hanyalah sepotong kecil informasi dalam memori. Ia merumuskan konsep "waktu" dengan membandingkan momen yang sedang dijalaninya dengan momen yang ada dalam memorinya. Jika perbandingan ini tidak dilakukan, maka persepsi waktu pun tidak ada.

Sama halnya dengan seseorang yang membuat perbandingan ketika ia melihat orang lain memasuki ruangan dan duduk di kursi di tengah ruangan. Ketika orang tersebut duduk di kursi, citra yang berkaitan dengan saat ia membuka pintu, masuk ke dalam ruangan dan berjalan ke kursi, disusun sebagai potongan-potongan informasi di dalam otak. Persepsi tentang waktu terjadi ketika ia membandingkan kejadian orang yang duduk di kursi dengan kumpulan informasi yang dimilikinya.

Singkatnya, waktu muncul sebagai hasil perbandingan antara beberapa ilusi yang tersimpan di dalam otak. Bila seseorang tidak memiliki memori, maka otaknya tidak dapat melakukan interpretasi seperti itu sehingga persepsi tentang waktu tidak terbentuk. Alasan seseorang menyatakan dirinya berumur 30 tahun hanyalah karena ia telah mengakumulasi informasi berkaitan dengan 30 tahun tersebut di dalam otaknya. Bila memorinya tidak ada, maka ia tidak akan berpikir tentang keberadaan periode yang telah berlalu dan ia hanya akan mengalami "momen" tunggal yang sedang dijalaninya.

Penjelasan Ilmiah tentang Ketiadaan Waktu

Kutipan penjelasan beberapa ilmuwan dan cendekiawan berikut akan lebih menerangkan subjek ini. François Jacob, seorang intelektual terkenal dan profesor bidang genetika penerima hadiah Nobel, dalam bukunya Le Jeu des Possibles (Yang Mungkin dan Yang Aktual) menjelaskan tentang waktu yang berjalan mundur:

Film yang diputar mundur memungkinkan kita membayangkan sebuah dunia di mana waktu berjalan mundur: sebuah dunia di mana susu memisahkan diri dari kopi, meloncat keluar dari cangkir dan masuk kembali ke dalam panci susu; di mana berkas-berkas cahaya dipancarkan dari dinding-dinding dan menyatu dalam sebuah pusat, bukannya memancar keluar dari sumber cahaya; di mana sebuah batu naik ke telapak tangan seseorang karena kerja sama menakjubkan dari banyak tetes air yang membuat batu tersebut keluar dari dalam air. Namun dalam dunia di mana waktu berjalan mundur, proses-proses di dalam otak dan cara memori kita mengumpulkan informasi pun mengikutinya. Hal serupa juga berlaku bagi masa lalu dan masa depan, dan bagi kita, dunia akan tampak seperti apa adanya. 1

Dunia tidak berjalan seperti dinyatakan di atas karena otak kita tidak terbiasa dengan urutan kejadian demikian, dan kita beranggapan bahwa waktu selalu bergerak ke depan. Bagaimanapun, anggapan ini merupakan keputusan yang diambil di dalam otak sehingga bersifat relatif. Sesungguhnya kita tidak pernah tahu bagaimana waktu mengalir, atau bahkan tidak tahu apakah ia mengalir atau tidak. Semua ini menunjukkan bahwa waktu bukanlah fakta absolut melainkan hanya sebuah persepsi.

Fakta bahwa waktu bersifat relatif didukung juga oleh ahli fisika terpenting di abad ke-20, Albert Einstein. Lincoln Barnett, dalam bukunya The Universe and Dr. Einstein (Alam Semesta dan Dr. Einstein), menulis:

Bersamaan dengan menyingkirkan konsep ruang absolut, Einstein sekaligus membuang konsep waktu absolut — aliran waktu universal yang tidak berubah, mengalir terus-menerus dari masa lalu tak terhingga ke masa depan yang tak terhingga. Sebagian besar ketidakjelasan yang meliputi Teori Relativitas berasal dari keengganan manusia untuk menyadari bahwa pengertian waktu, seperti juga pengertian warna, adalah sebuah bentuk persepsi. Sebagaimana ruang hanyalah suatu susunan objek-objek material yang mungkin, waktu juga hanyalah susunan kejadian-kejadian yang mungkin. Subjektivitas waktu paling tepat dijelaskan dengan kata-kata Einstein sendiri. "Pengalaman-pengalaman individu," katanya, "kita lihat sebagai rangkaian berbagai kejadian; dalam rangkaian ini, kejadian tunggal yang kita ingat terurut sesuai dengan kriteria 'lebih dulu' dan 'kemudian'. Oleh karena itu setiap individu akan memiliki 'waktu-saya' atau waktu subjektif. Waktu ini, dengan sendiri-nya, tidak dapat diukur. Saya, tentu saja, dapat menghubungkan angka-angka dengan kejadian-kejadian sedemikian rupa sehingga angka terbesar melambangkan kejadian terkini dan bukan dengan kejadian lebih awal. 2

Einstein sendiri menunjukkan, seperti yang dikutip dari buku Barnett: "ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi tidak terpisahkan dari kesadaran, seperti halnya konsep warna, bentuk atau ukuran". Menurut Teori Relativitas Umum: "eksistensi waktu tidak dapat dipisahkan dari urutan kejadian yang kita gunakan untuk mengukurnya." 3

Karena waktu terdiri atas persepsi, maka waktu bergantung sepenuhnya pada orang yang merasakannya. Karena itulah waktu bersifat relatif.

Kecepatan waktu mengalir akan berbeda berdasarkan acuan yang digunakan untuk mengukurnya, karena tubuh manusia tidak memiliki jam alami yang dapat menentukan secara tepat kecepatan waktu berjalan. Seperti yang ditulis Lincoln Barnett: "Sebagaimana tidak ada warna bila tak ada mata untuk melihatnya, tidak ada pula ukuran sesaat, sejam atau sehari bila tak ada kejadian untuk menandainya." 4

Relativitas waktu dapat dialami secara sederhana di dalam mimpi. Walaupun apa yang kita lihat dalam mimpi tampaknya berlangsung berjam-jam, sesungguhnya hanya berlangsung beberapa menit, atau bahkan beberapa detik.

Mari kita lihat sebuah contoh untuk memperjelas masalah ini. Bayangkan kita dimasukkan ke dalam ruangan dengan sebuah jendela yang dirancang khusus, dan kita berada di sana selama waktu tertentu. Ruangan tersebut dilengkapi sebuah jam sehingga kita dapat mengetahui berapa lama waktu yang telah kita lewati. Pada saat yang sama kita dapat melihat matahari terbit dan tenggelam pada selang waktu tertentu. Beberapa hari kemudian, untuk menjawab pertanyaan tentang berapa lama kita telah berada di dalam ruangan tersebut, kita akan mengacu pada informasi yang telah kita kumpulkan dengan melihat jam dari waktu ke waktu serta perhitungan berapa kali matahari telah terbit dan tenggelam. Misalnya, kita memperkirakan, tiga hari sudah kita lalui di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, jika orang yang memasukkan kita ke dalam ruangan itu mengatakan bahwa kita hanya menghabiskan dua hari di sana, dan bahwa matahari yang terlihat dari jendela adalah manipulasi simulasi mesin dan jam yang berada di ruangan telah diatur untuk berjalan lebih cepat, maka perhitungan yang telah kita lakukan menjadi tidak berarti.

Contoh ini menegaskan bahwa informasi yang kita miliki tentang laju waktu hanyalah berdasarkan acuan relatif. Relativitas waktu adalah fakta ilmiah yang telah dibuktikan melalui metodologi ilmiah. Teori Relativitas Umum Einstein menyatakan bahwa kecepatan perubahan waktu tergantung pada kecepatan benda tersebut dan jaraknya dari pusat gravitasi. Begitu kecepatan meningkatnya, waktu menjadi lebih singkat dan termampatkan; dan melambat sehingga bisa dikatakan "berhenti".

Hal ini diperjelas dengan contoh dari Einstein. Bayangkan dua saudara kembar: salah seorang tinggal di bumi sementara yang lainnya pergi ke luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Ketika penjelajah luar angkasa ini kembali ke bumi, ia akan mendapati saudaranya menjadi lebih tua daripada dirinya. Hal ini terjadi karena waktu berjalan lebih lambat bagi orang yang bepergian dalam kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Hal yang sama terjadi pula pada seorang ayah penjelajah luar angkasa dan anaknya yang berada di bumi. Jika pada saat pergi, sang ayah berumur 27 tahun dan anaknya berumur 3 tahun; ketika sang ayah kembali ke bumi 30 tahun kemudian (waktu bumi), anaknya akan berumur 33 tahun tetapi sang ayah masih berumur 30 tahun! 5

Harus digarisbawahi bahwa relativitas waktu tidak disebabkan oleh perlambatan atau percepatan jam, atau perlambatan pegas mekanis alat penghitung waktu. Relativitas ini merupakan hasil perbedaan waktu operasi sistem materi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya partikel-partikel sub atom. Dengan kata lain, bagi yang mengalaminya, perlambatan waktu bukan berarti menjalani kejadian seperti dalam film gerak lambat. Dalam keadaan di mana waktu memendek, detak jantung, replikasi sel, fungsi otak dan segala sesuatunya berjalan lebih lambat daripada manusia yang bergerak di bumi. Orang tersebut akan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa menyadari sama sekali adanya pemendekan waktu. Pemendekan waktu tersebut tak akan terlihat jelas, sampai dilakukan perbandingan.


Relativitas dalam Al Quran

Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern membawa kita pada kesimpulan bahwa waktu tidak bersifat absolut seperti anggapan materialis, tetapi merupakan persepsi relatif. Sangat menarik bahwa fakta yang baru terungkap oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20 ini, telah disampaikan dalam Al Quran kepada manusia 14 abad yang lalu.

Waktu adalah persepsi psikologis yang dipengaruhi oleh peristiwa, tempat dan kondisi. Fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah ini dapat kita temukan pada banyak ayat Al Quran. Sebagai contoh, Al Quran menyatakan bahwa masa hidup seseorang sangat pendek:

Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja. (QS. Al Israa', 17: 52)

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari; (di waktu itu) mereka akan saling berkenalan. (QS. Yunus, 10: 45)

Beberapa ayat menunjukkan bahwa manusia merasakan waktu secara berbeda dan kadang-kadang manusia bisa menganggap suatu periode yang sangat pendek sebagai periode yang sangat panjang. Contoh yang tepat adalah dialog antara beberapa manusia yang terjadi di saat pengadilan mereka di hari kiamat:

Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al Mu'minuun, 23: 112-114)

Dalam beberapa ayat lainnya, Allah menyatakan bahwa di tempat yang berbeda, waktu dapat mengalir dengan cara berbeda pula:

Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-sekali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. Al Hajj, 22: 47)

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (QS. Al Ma'aarij, 70: 4)

Ayat-ayat ini mengungkapkan dengan jelas perihal relativitas waktu. Fakta yang telah disampaikan kepada manusia sekitar 1.400 tahun yang lalu ini baru dimengerti oleh ilmu pengetahuan pada abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa Al Quran diturunkan oleh Allah, Dia yang meliputi seluruh ruang dan waktu.

Banyak ayat Al Quran lainnya menunjukkan bahwa waktu adalah persepsi. Hal ini terlihat jelas terutama dalam kisah-kisah Al Quran. Sebagai contoh, Allah telah membuat Ashhabul Kahfi (Penghuni-penghuni Gua) — sekelompok orang beriman yang disebutkan dalam Al Quran — tertidur lelap selama lebih dari tiga abad. Ketika terbangun, mereka mengira telah tertidur sebentar tetapi tidak dapat memastikan berapa lama:

Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (QS. Al Kahfi, 18: 11-12)

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?" Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui…" (QS. Al Kahfi, 18: 19)

Keadaan yang diceritakan dalam ayat di bawah ini juga membuktikan bahwa sesungguhnya waktu adalah persepsi psikologis.

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dia berkata, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah berkata, "Berapa lamakah engkau tinggal di sini?" Dia berkata, "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman, "Sebenarnya engkau telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah makanan dan minumanmu yang tidak tampak berubah; dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikanmu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunya kembali, kemudian kami menutupinya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati), diapun berkata, "Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah, 2: 259)

Ayat di atas dengan jelas menekankan bahwa Allah-lah yang menciptakan waktu, dan keberadaan-Nya tidak terbatasi oleh waktu. Di sisi lain, manusia dibatasi oleh waktu yang ditakdirkan Allah. Sebagaimana dikisahkan dalam ayat di atas, manusia bahkan tidak mampu mengetahui berapa lama ia tertidur. Dalam keadaan seperti ini, menyatakan bahwa waktu adalah absolut (sebagaimana dikatakan materialis) merupakan hal yang tidak masuk akal.

Relatifitas Takdir ?


Ikuti juga Ulasan bahwa Akhirat adalah tempat tinggal manusia yang sebenarnya. Surga ataukah neraka tempat tinggal kita ?

Sesungguhnya Surga itu bagi mereka yang menghadap-Nya sebagai mukmin, dan Neraka tempat orang-orang yang tidak beriman tinggal selamanya diciptakan khusus untuk memberikan siksaan bagi jasad dan jiwa manusia. Hal ini semata karena orang-orang yang tidak beriman bersalah atas dosa besar dan keadilan Allah menuntut hukuman atas mereka.

Baca uraiannya